Rabu, September 09, 2009

Simbiotik Media dan Terorisme

Selasa, 8 September 2009

Sejak peledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli lalu, terorisme menjadi topik yang paling hangat dibahas di berbagai media, baik televisi, surat kabar, ataupun situs-situs surat kabar online di Internet, mengalahkan berita tentang penetapan presiden baru di Indonesia. Tema besar tentang terorisme dianalisis dari berbagai perspektif, seperti mengenai peristiwa peledakan bom itu sendiri, performance pihak kepolisian, siapa pelakunya, dari sisi intelijen, hingga sisi human interest-nya. Dalam kaitan itu, tulisan ini akan membahas mengenai kaitan antara terorisme dengan media.

Antara terorisme dan media memang memiliki keterkaitan yang erat. Tindakan terorisme selalu menarik perhatian media dan mendapat liputan yang luas. Hal ini pun terjadi dalam peristiwa peledakan bom di dua hotel mewah di Jakarta hingga berbagai rangkaian peristiwanya.

Nacos (2002) menyatakan bahwa terorisme dapat dipahami sebagai “mass-mediated political violence”. Dalam hal ini, teroris tidak hanya sekedar melakukan tindakan kekerasan, namun mereka melakukan tindakan terorisme yang memang dirancang untuk mendapatkan liputan yang luas dari media. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebagian besar teroris memperhitungkan konsekuensi dari tindakan tersebut, mengenai kemungkinan untuk mendapatkan perhatian dari media, dan yang paling penting adalah kemungkinan untuk mendapatkan akses ke dalam segitiga komunikasi politik, yaitu antara media massa, masyarakat umum atau kelompok tertentu, dan pemerintah.
Media tidak sekedar menjadi pihak yang pasif dan netral, namun media memilih hal tertentu untuk ditonjolkan, dan meminimalkan hal yang lain. Dengan kata lain, media melakukan framing terhadap tindakan terorisme. Dalam hal ini antara media dan terorisme terjadi hubungan simbiotik yang saling menguntungkan. Di satu sisi teroris mencari publisitas untuk tindakan yang dilakukannya, sedangkan di sisi lain, media memberitakan terorisme untuk meningkatkan jumlah audience-nya, yang pada gilirannya akan meningkatkan keuntungannya.

Picard (1993) mencatat bahwa kekerasan politis seperti terorisme tidak akan berpengaruh jika tidak diketahui oleh otoritas (pemerintah), masyarakat, atau para pendukungnya. Oleh karena itu media berperan penting untuk mengkomunikasikan peristiwa tersebut.

Bagaimanapun, peran media mendapatkan kritik dan telah banyak dibahas. Norris, Kern, dan Just (2003) menyatakan bahwa terdapat dua jenis liputan media tentang terorisme, yaitu satu sisi dan dua sisi. Liputan satu sisi terjadi ketika kebanyakan orang seperti pemimpin, pemerintah, kelompok-kelompok politik tertentu, jurnalis, dan masyarakat umum memiliki pendapat yang sama tentang peristiwa terorisme, dan hanya sedikit pihak yang berbeda pendapat. Sedangkan dalam liputan dua sisi, terdapat lebih banyak diskusi dan perdebatan mengenai tindakan terorisme. Perbedaan pendapat yang tajam dapat terjadi dalam kelompok-kelompok masyarakat yang sangat terpengaruh dampak dari konflik yang terjadi dan di mana kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki akses terhadap media.

Dalam peristiwa pemboman di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, media di Indonesia pun telah memberitakan secara luas mengenai terorisme dan dibahas dari berbagai perspektif. Jika diamati dari berbagai pemberitaan di media, secara umum dapat dikatakan bahwa media di Indonesia membahas terorisme secara satu sisi, di mana sebagian besar pihak, seperti pemerintah, masyarakat, para tokoh masyarakat, ataupun politisi mengutuk tindakan terorisme. Memang terjadi perbedaan pendapat, namun pada umumnya tidak terlalu signifikan.

Media memiliki peran yang strategis dalam masyarakat, yaitu sebagai sumber informasi, termasuk mengenai peristiwa terorisme. Seperti dalam pemboman di dua hotal di Jakarta tersebut, media berlomba-lomba memberitakan tentang peristiwa itu dan selalu meng-up date informasi dalam breaking news. Bagi masyarakat yang kurang puas dengan berita dari media ‘tradisional’ seperti televisi dan surat kabar, dapat mengakses situs-situs berita online di internet yang di-up date setiap saat.

Namun media juga perlu menjaga jangan sampai kepentingan media bergesekan dengan kepentingan pihak pemerintah dan kepolisian dalam membongkar aksi terorisme. Sebagai contoh dalam peristiwa penyergapan teroris yang ditayangkan sebuah stasiun televisi secara langsung, yang dikhawatirkan telah membocorkan teknik-teknik polisi dalam menangkap teroris.

Sebaliknya, media diharapkan dapat menjadi mitra bagi pemerintah dalam mengungkapkan jaringan para teroris. Hal ini karena jangkauan media yang luas, dapat berperan sebagai media sosialisasi kepada masyarakat mengenai wajah-wajah para teroris dan berita tentang terorisme, sehingga masyarakat akan lebih waspada. Selain itu, media juga diharapkan tetap menjadi sumber informasi yang kredibel mengenai terorisme, dengan analisis yang tajam dan menggunakan narasumber yang kredibilitasnya telah diakui secara umum.

Artikel opini ini telah diterbitkan di Lampung Post, 27 Agustus 2009

2 komentar:

  1. Semoga kita termasuk orang yang dapat memanfaatkan FB secara positif ya mbak..selain bertukar informasi dan menjalin silaturahim, fb juga bisa membuat kita melek ttg teknologi. Bagus mbak ulasanya..sukses terus ya...

    BalasHapus
  2. Makasih komentarnya Mbak Lita.. Iya bener seharusnya kita bisa memanfaatkan teknologi untuk hal2 positif. Kalau ada yang negatif dengan teknologi bukan salah teknologinya, tapi karena yang pakainya kan.. Sama2 mbak, sukses terus ya...Sori ini baru dibalas komennya, saya memang jarang nengok hehe...

    BalasHapus